Kutacane — Proyek pembangunan fasilitas mandi, cuci, kakus (MCK) di Kabupaten Aceh Tenggara yang dibiayai melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun anggaran 2025 mendapat kritikan tajam dari kalangan masyarakat sipil. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Kaliber Aceh mengkritisi pola pelaksanaan program tersebut yang diduga menyimpang dari prinsip pelibatan kelompok masyarakat.
Ketua LSM Kaliber Aceh, Zoelkenedi, mengungkapkan bahwa proyek MCK yang tersebar di 13 desa itu seharusnya dikerjakan oleh kelompok masyarakat penerima manfaat. Namun, dalam praktiknya, pengerjaan proyek justru dikendalikan langsung oleh oknum pengulu (kepala desa). Ia menduga hal ini tidak terjadi tanpa sepengetahuan pihak Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Aceh Tenggara.
“Kami menduga kuat adanya kerja sama tidak sehat antara oknum pengulu dan Dinas PUPR. Proyek ini dikhawatirkan menjadi ajang untuk mendapatkan aliran dana yang tidak semestinya,” ujar Zoelkenedi, Kamis (23/10/2025).
Proyek MCK tersebut masing-masing bernilai Rp13 juta per unit, dengan total anggaran sebesar Rp435 juta. Meski nilainya terbilang kecil per satuan, potensi penyimpangan dapat terjadi secara sistematis jika tidak diawasi dengan baik. Berdasarkan hasil investigasi Kaliber Aceh, ditemukan berbagai dugaan pelanggaran teknis dan administratif.
Beberapa di antaranya meliputi penggunaan material yang tidak sesuai spesifikasi, seperti pipa yang tidak memenuhi standar tipe AW hingga atap spandek dengan ketebalan di bawah ketentuan. Selain itu, pelaksanaan proyek di lapangan disebut tidak sesuai dengan bestek, termasuk pada kedalaman galian dan kualitas pasangan pondasi.
“Banyak pengerjaan tak sesuai gambar teknis. Kedalaman galian pondasi tidak mencukupi, atap terlalu tipis, dan beberapa lokasi bahkan tidak memiliki papan informasi proyek. Ini menyalahi prinsip transparansi publik,” katanya.
Zoelkenedi juga mengkritisi lemahnya pengawasan dari Dinas PUPR selaku instansi pelaksana teknis. Dengan tidak adanya mekanisme kontrol yang ketat, proyek rawan molor dan menjadi tidak efektif. Bahkan, ia menyebut adanya indikasi penggelembungan anggaran dan potensi praktik korupsi yang dapat menjerat oknum-oknum terkait.
“Kalau ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin bakal ada tersangka baru dari dinas tersebut. Apalagi sebelumnya, dinas ini juga sudah pernah menjadi perhatian aparat penegak hukum,” ujarnya.
Ia menegaskan pihaknya akan terus mengawal pelaksanaan proyek MCK ini hingga akhir tahun anggaran 2025. LSM Kaliber Aceh, menurutnya, telah menyiapkan laporan kajian dan dokumentasi lapangan untuk disampaikan ke aparat pengawasan internal pemerintah, bahkan jika perlu ke penegak hukum.
Sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, pelaksanaan proyek yang dibiayai oleh negara harus mengedepankan prinsip efisiensi, efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas. Kegagalan memenuhi prinsip ini tidak hanya berimplikasi pada rendahnya kualitas pembangunan, tetapi juga dapat menimbulkan kerugian negara dan menyangkut persoalan hukum.
“Kami tidak anti pembangunan. Kami hanya ingin anggaran negara benar-benar digunakan untuk kepentingan masyarakat, bukan dijadikan celah penyimpangan. Proyek ini harus diawasi secara ketat dan dilaksanakan sesuai aturan,” pungkas Zoelkenedi. (tim)


























